“....Kalau begitu saya
tidak perlu basa-basi lagi, apakah saudari Anastasia tahu mengenai pembunuhan
13 orang di rumah sakit Harapan Kasih? Informasi apapun.”
“Pembunuhan?? Yang
dilakukan oleh..” Aku mencoba memasang ekspresi terkejut dan menelan ludah.
“Ya kami tahu. Sebelum
kematiannya, saksi mata mengatakan arwah korban-korban rumah sakit yang penuh
dendam yang membunuh para dokter. Heh, bahkan warga sekitar percaya rumor
seperti itu, tapi tidak dengan kepolisian. Pembunuhan ini terlalu sempurna. Tidak
ada sidik jari dan bukti apapun. Terbukti dari modus operandi si pembunuh yang
membuka kepala para korban dan menghancurkan otak mereka. Apakah anda tahu
maksud pernyataan saya?”
“..E-eh..?”
“.... Itu artinya,
pembunuh adalah orang yang ahli dalam bidang kedokteran, terutama dalam
membedah. Apakah saudari Anastasia mengenali seseorang yang ahli dalam membedah
otak?”
Sudah 2 detektif yang
mewawancaraiku dan seperti biasa aku memberikan jawaban skeptis dan ketidak
tahuan. “Interogasi” berjalan lancar dan para detektif tersebut pergi, masih
dengan tanda tanya besar diwajah mereka.
“Keluar dari rumah sakit..kah?”
Entah bagaimana, tetapi aku menjadi ahli dalam berbohong. Tentu aku tahu “hantu”
itu. Bersandar ke dinding yang dingin sambil
mengingat kejadian itu membuat kakiku lemas. Ia mengatakan ini demi
kesejahteraan pasien. Tetapi, dokter tidak akan mengetahuinya, karena aku
melakukannya demi dokter.
24 Desember 2001. Pagi
yang cerah menerangi ruangan putih ini. Cahaya matahari hangat membuatnya
semakin terang benderang. Suasana terasa ceria karena senyuman para pasien yang
mengunjungi dokter Isnanto.
Isnanto Iskandar. Para
pasien memanggilnya dokter Is. Seorang dokter jujur yang selalu kukagumi.
Sangat bersahaja dan selalu memberikan
yang tebaik untuk pasiennya. Bahkan dalam catatan medisnya, tidak pernah ada
pasien meninggal selama dalam penanganannya. Termasuk diriku. 7 tahun lalu,
dokter Isnanto memberikan ginjalnya untukku. Aku, yang bukan siapa-siapa dan
tak memiliki uang untuk membeli sebuah ginjal ini.
Seusai operasi ginjal,
aku yang sudah menyerah dalam hidup ini tentu bertanya, apa alasannya
memberikan bagian tubuhnya itu.
Ia hanya tersenyum dan
mengatakan,
“Kamu dan saya masih
memiliki kesempatan. Jangan sia-sia kan kesempatan ini dan lakukanlah hal yang
hebat untuk dirimu” dan mengelus
kepalaku dengan tangannya yang besar.
Mungkin, kebaikan dan
kebodohan adalah satu hal yang sama. Tetapi, dibalik senyum dan kata-katanya,
aku merasakannya. Sebuah kehangatan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Sejak saat itu aku bertekad untuk membalas kebaikannya. Sesosok dokter yang
telah menyelamatkanku lah yang terus mendorongku untuk belajar dibidang
kedokteran. Hingga aku berdiri disini, menjadi asistennya. Mungkin dokter
Isnanto tidak mengenaliku, tapi, untuk selalu bediri di sisinya sudah cukup
bagiku.
Namun, kebaikan tidak
hanya mengundang teman, tapi juga musuh. Seluruh rekan sekerjanya tidak sepaham
dengan kejujuran dokter Isnanto. Menurut mereka, seorang dokter harus mengenai
biaya yang lebih. Memberikan diagnosa palsu. Obat yang tidak ada hubungannya
dengan penyakit pasien. Membuat pasien selalu mendatangi mereka.
Dengan kata lain, Rumah
sakit ini berdiri untuk uang, bukan kesehatan masyarakat. Pola pikir yang sudah
menjamur di kota ini.
Sudah ketiga kalinya
dokter Isnanto berseteru mengenai hal tersebut dengan dokter lain. Kali ini
para petinggi yayasan yang turut ikut campur menghasut dokter Isnanto dan
seperti biasa, dokter Isnanto menolak hal tersebut. Para petinggi dan dokter
lain geram begitu dokter Isnanto meninggalkan ruangan. Hal ini lah yang
membuatku menyesal. Aku tak berdaya melihat kebangkitan hantu ini. Sesosok yang
bahkan lebih kejam dari hantu. Iblis seakan-akan merasukinya.
Kebencianpun mencapai
puncaknya. Pihak rumah sakit sengaja memberikan obat yang salah serta mengubah
resep obat salah satu pasien dokter Isnanto. Pasien tersebut mengalami
keracunan obat. Tentu saja dokter Isnanto yang dikambing hitamkan. Semua orang
menyalahkan dokter Isnanto dengan tuduhan mal paktik dan memberhentikannya dari
rumah sakit.
Saat itu, dokter Isnanto
sama sekali tidak terlihat kecewa. Dokter tersenyum dan mengatakan akan membuka
praktiknya sendiri serta menyelamatkan pasien dari rumah sakit korup ini.
Sebelum melangkahkan kakinya dari ruangan ini, tanpa kusadari air mata mengalir
dari mataku. Bodohnya diriku. Seandainya aku terus mengawasi mereka, mungkin
hal ini tak akan terjadi. Aku tak akan terpisahkan dari dokter.
Aku terduduk dan terus
menangis tanpa suara. Semua usahaku trasa sia-sia.
Tiba-tiba, tangan yang
besar dan hangat mengelus kepalaku. Tampaknya dokter Isnanto menyadariku. Ia
tak mengatakan apa-apa, hanya terus mengelus kepalaku hingga tangisanku
berhenti.
Di situasi yang sangat
canggung ini, wajahku memerah dan mencoba mengatakan sesuatu. Namun,
seakan-akan membaca pikiranku dan tahu arti tangisanku, dokter mengatakan
“Kamu dan saya masih
memiliki kesempatan. Jangan sia-sia kan kesempatan ini dan lakukanlah hal yang
hebat untuk dirimu.”
Wajahku yang merah
berubah menjadi terkejut. Tangan ini. Kata-kata ini. Aku salah. Selama ini
dokter Isnanto mengenaliku. Rasa senang dan bahagia meluapi hatiku. Ingin
rasanya memeluk tubuh bidang di hadapanku ini, namun dokter melepaskan
tangannya dari kepalaku dan meninggalkan ruangan ini. Disaat punggungnya yang
lebar hendak lenyap dari hadapanku, aku setengah berteriak,
“Apakah dokter
membutuhkan asisten?!”
Dokter Isnanto hanya
tersenyum dan pergi.
Dua hari telah berlalu.
Aku yang sudah muak dengan rumah sakit ini masih bertahan demi memberikan
informasi rumah sakit untuk dokter Isnanto. Tampaknya, seberapa baik hati
seseorang tak akan mampu merubah kejahatan. Semua pasien yang ditangani dokter
Isnanto mengalami keracunan obat. Dan tentu saja rumah sakit yang bertanggung
jawab dengan menyalahkan dokter Isnanto. Bahkan tersebar kabar bahwa dokter
Isnanto adalah dokter penipu sehingga ia tak bisa membuka praktik sendiri.
Kali ini dokter Isnanto
terdiam mendapati kabar buruk tersebut. Rasa bersalah menyelimuti dirinya.
Seakan-akan memiliki ikatan batinnya, aku tahu apa isi pikirannya sekarang.
Wajahnya mengatakan bahwa ia telah lalai terhadap tugasnya. Rasa terkejutnya
menunjukkan penyesalan dan kebaikan tak mampu merubah kejahatan. Tatapannya
sekarang terasa hampa. Tak ada lagi kebaikan dimatanya. Hanya amarah yang bisa
kurasakan dari matanya.
“...Anna.. Sekaranglah
saatnya kamu pergi meninggalkan saya.”
“..E-eh..? Kenapa?”
“Karena saya akan menghentikan
mereka.”
Aku memeluknya dan
merasakan dinginya api kebencian yang terus membara dari tubuhnya. Dendam ini,
sudah tak bisa dipadamkan. Iblis telah mengotori hatinya karena kelalaianku
juga. Seberapa kotor dan jahatnya orang ini, aku tak akan bisa membencinya. Aku
tak akan melupakan senyum itu. Tangan itu. Dan kata-kata yang menyinari
hidupku.
“Aku.. akan terus berada di sisi dokter
Isnanto..Apapun yang dokter lakukan..”
31 Desember 2012, malam
pergantian tahun. Sesuai dugaan dokter Isnanto,
para dokter dan petinggi rumah sakit Harapan Kasih mengadakan pesta,
merayakan “kemenangan” mereka. Bau minuman keras yang memenuhi ruangan ini
mempermudah aksiku menaburkan obat tidur dosis tinggi ke setiap minuman.
Setengah jam berlalu dan hanya musik tahun baru yang mengaluni kedatangan
“hantu” ini.
Lengkap dengan pakaian
operasi berwarna hijau, kami berdua menyuntikkan obat bius kepada 13 orang yang
hadir di ruangan keji ini. Dari wajahnya yang tertutup masker hijau, aku
menatap matanya. Dendam? Benci? Penyesalan? Semua hal buruk dari kotak pandora
terpancar dari matanya yang tertutupi kacamata. Aku hanya bisa mendukung dokter
dan memegang pundaknya yang tinggi.
“... Waktunya operasi...”
Dengan keji, ia membelah
kepala 13 orang ini satu per satu dengan gergaji operasi dan pisau bedah. Bau
yang mencekam tak bisa tertutupi oleh masker. Darah segar membasahi pakaian
kami dan ruang “operasi” ini. Cepat namun berhati-hati, “hantu” kejam ini berhasil
“menampakkan” otak ke 13 orang ini dari tempurung kepala mereka. Dan dengan
sebilah pisau bedah, ia menusukkannya ke otak tiap orang berkali kali hingga
hancur, menjadi potongan daging.
Keesokan harinya,
mayat-mayat dan “kamar penjagalan” ini disaksikan oleh seluruh penghuni rumah
sakit ini. Kondisi ruangan yang penuh warna merah membuat orang-orang ketakutan
dan percaya hanya “hantu” atau “iblis” yang mampu melakukan hal tersebut.
Tak ada penyesalan dan
kecewa di dalam hatiku. Semua untuk pasien. Semua kulakukan demi dokter. Namun,
hal yang kutakutkan terjadi. Dokter Isnanto menghampiri rumahku dan mengatakan
“..Pukul 10 malam, waktunya beroperasi..”
Aku hanya menganggukkan
kepala dan menghargai “kesempatan” ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar