Sabtu, 14 September 2013

Chance

“....Kalau begitu saya tidak perlu basa-basi lagi, apakah saudari Anastasia tahu mengenai pembunuhan 13 orang di rumah sakit Harapan Kasih? Informasi apapun.”

“Pembunuhan?? Yang dilakukan oleh..” Aku mencoba memasang ekspresi terkejut dan menelan ludah.

“Ya kami tahu. Sebelum kematiannya, saksi mata mengatakan arwah korban-korban rumah sakit yang penuh dendam yang membunuh para dokter. Heh, bahkan warga sekitar percaya rumor seperti itu, tapi tidak dengan kepolisian. Pembunuhan ini terlalu sempurna. Tidak ada sidik jari dan bukti apapun. Terbukti dari modus operandi si pembunuh yang membuka kepala para korban dan menghancurkan otak mereka. Apakah anda tahu maksud pernyataan saya?”

“..E-eh..?”

“.... Itu artinya, pembunuh adalah orang yang ahli dalam bidang kedokteran, terutama dalam membedah. Apakah saudari Anastasia mengenali seseorang yang ahli dalam membedah otak?”

Sudah 2 detektif yang mewawancaraiku dan seperti biasa aku memberikan jawaban skeptis dan ketidak tahuan. “Interogasi” berjalan lancar dan para detektif tersebut pergi, masih dengan tanda tanya besar diwajah mereka.

“Keluar dari rumah sakit..kah?” Entah bagaimana, tetapi aku menjadi ahli dalam berbohong. Tentu aku tahu “hantu” itu. Bersandar ke dinding yang dingin sambil  mengingat kejadian itu membuat kakiku lemas. Ia mengatakan ini demi kesejahteraan pasien. Tetapi, dokter tidak akan mengetahuinya, karena aku melakukannya demi dokter.

24 Desember 2001. Pagi yang cerah menerangi ruangan putih ini. Cahaya matahari hangat membuatnya semakin terang benderang. Suasana terasa ceria karena senyuman para pasien yang mengunjungi dokter Isnanto.

Isnanto Iskandar. Para pasien memanggilnya dokter Is. Seorang dokter jujur yang selalu kukagumi. Sangat bersahaja dan  selalu memberikan yang tebaik untuk pasiennya. Bahkan dalam catatan medisnya, tidak pernah ada pasien meninggal selama dalam penanganannya. Termasuk diriku. 7 tahun lalu, dokter Isnanto memberikan ginjalnya untukku. Aku, yang bukan siapa-siapa dan tak memiliki uang untuk membeli sebuah ginjal ini.

Seusai operasi ginjal, aku yang sudah menyerah dalam hidup ini tentu bertanya, apa alasannya memberikan bagian tubuhnya itu.
Ia hanya tersenyum dan mengatakan,
“Kamu dan saya masih memiliki kesempatan. Jangan sia-sia kan kesempatan ini dan lakukanlah hal yang hebat untuk dirimu”  dan mengelus kepalaku dengan tangannya yang besar.

Mungkin, kebaikan dan kebodohan adalah satu hal yang sama. Tetapi, dibalik senyum dan kata-katanya, aku merasakannya. Sebuah kehangatan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sejak saat itu aku bertekad untuk membalas kebaikannya. Sesosok dokter yang telah menyelamatkanku lah yang terus mendorongku untuk belajar dibidang kedokteran. Hingga aku berdiri disini, menjadi asistennya. Mungkin dokter Isnanto tidak mengenaliku, tapi, untuk selalu bediri di sisinya sudah cukup bagiku.

Namun, kebaikan tidak hanya mengundang teman, tapi juga musuh. Seluruh rekan sekerjanya tidak sepaham dengan kejujuran dokter Isnanto. Menurut mereka, seorang dokter harus mengenai biaya yang lebih. Memberikan diagnosa palsu. Obat yang tidak ada hubungannya dengan penyakit pasien. Membuat pasien selalu mendatangi mereka.
Dengan kata lain, Rumah sakit ini berdiri untuk uang, bukan kesehatan masyarakat. Pola pikir yang sudah menjamur di kota ini.

Sudah ketiga kalinya dokter Isnanto berseteru mengenai hal tersebut dengan dokter lain. Kali ini para petinggi yayasan yang turut ikut campur menghasut dokter Isnanto dan seperti biasa, dokter Isnanto menolak hal tersebut. Para petinggi dan dokter lain geram begitu dokter Isnanto meninggalkan ruangan. Hal ini lah yang membuatku menyesal. Aku tak berdaya melihat kebangkitan hantu ini. Sesosok yang bahkan lebih kejam dari hantu. Iblis seakan-akan merasukinya.

Kebencianpun mencapai puncaknya. Pihak rumah sakit sengaja memberikan obat yang salah serta mengubah resep obat salah satu pasien dokter Isnanto. Pasien tersebut mengalami keracunan obat. Tentu saja dokter Isnanto yang dikambing hitamkan. Semua orang menyalahkan dokter Isnanto dengan tuduhan mal paktik dan memberhentikannya dari rumah sakit.

Saat itu, dokter Isnanto sama sekali tidak terlihat kecewa. Dokter tersenyum dan mengatakan akan membuka praktiknya sendiri serta menyelamatkan pasien dari rumah sakit korup ini. Sebelum melangkahkan kakinya dari ruangan ini, tanpa kusadari air mata mengalir dari mataku. Bodohnya diriku. Seandainya aku terus mengawasi mereka, mungkin hal ini tak akan terjadi. Aku tak akan terpisahkan dari dokter.

Aku terduduk dan terus menangis tanpa suara. Semua usahaku trasa sia-sia.
Tiba-tiba, tangan yang besar dan hangat mengelus kepalaku. Tampaknya dokter Isnanto menyadariku. Ia tak mengatakan apa-apa, hanya terus mengelus kepalaku hingga tangisanku berhenti.
Di situasi yang sangat canggung ini, wajahku memerah dan mencoba mengatakan sesuatu. Namun, seakan-akan membaca pikiranku dan tahu arti tangisanku, dokter mengatakan

“Kamu dan saya masih memiliki kesempatan. Jangan sia-sia kan kesempatan ini dan lakukanlah hal yang hebat untuk dirimu.”

Wajahku yang merah berubah menjadi terkejut. Tangan ini. Kata-kata ini. Aku salah. Selama ini dokter Isnanto mengenaliku. Rasa senang dan bahagia meluapi hatiku. Ingin rasanya memeluk tubuh bidang di hadapanku ini, namun dokter melepaskan tangannya dari kepalaku dan meninggalkan ruangan ini. Disaat punggungnya yang lebar hendak lenyap dari hadapanku, aku setengah berteriak,
“Apakah dokter membutuhkan asisten?!”

Dokter Isnanto hanya tersenyum dan pergi.

Dua hari telah berlalu. Aku yang sudah muak dengan rumah sakit ini masih bertahan demi memberikan informasi rumah sakit untuk dokter Isnanto. Tampaknya, seberapa baik hati seseorang tak akan mampu merubah kejahatan. Semua pasien yang ditangani dokter Isnanto mengalami keracunan obat. Dan tentu saja rumah sakit yang bertanggung jawab dengan menyalahkan dokter Isnanto. Bahkan tersebar kabar bahwa dokter Isnanto adalah dokter penipu sehingga ia tak bisa membuka praktik sendiri.

Kali ini dokter Isnanto terdiam mendapati kabar buruk tersebut. Rasa bersalah menyelimuti dirinya. Seakan-akan memiliki ikatan batinnya, aku tahu apa isi pikirannya sekarang. Wajahnya mengatakan bahwa ia telah lalai terhadap tugasnya. Rasa terkejutnya menunjukkan penyesalan dan kebaikan tak mampu merubah kejahatan. Tatapannya sekarang terasa hampa. Tak ada lagi kebaikan dimatanya. Hanya amarah yang bisa kurasakan dari matanya.

“...Anna.. Sekaranglah saatnya kamu pergi meninggalkan saya.”

“..E-eh..? Kenapa?”

“Karena saya akan menghentikan mereka.”

Aku memeluknya dan merasakan dinginya api kebencian yang terus membara dari tubuhnya. Dendam ini, sudah tak bisa dipadamkan. Iblis telah mengotori hatinya karena kelalaianku juga. Seberapa kotor dan jahatnya orang ini, aku tak akan bisa membencinya. Aku tak akan melupakan senyum itu. Tangan itu. Dan kata-kata yang menyinari hidupku.

“Aku..  akan terus berada di sisi dokter Isnanto..Apapun yang dokter lakukan..”


31 Desember 2012, malam pergantian tahun. Sesuai dugaan dokter Isnanto,  para dokter dan petinggi rumah sakit Harapan Kasih mengadakan pesta, merayakan “kemenangan” mereka. Bau minuman keras yang memenuhi ruangan ini mempermudah aksiku menaburkan obat tidur dosis tinggi ke setiap minuman. Setengah jam berlalu dan hanya musik tahun baru yang mengaluni kedatangan “hantu” ini.

Lengkap dengan pakaian operasi berwarna hijau, kami berdua menyuntikkan obat bius kepada 13 orang yang hadir di ruangan keji ini. Dari wajahnya yang tertutup masker hijau, aku menatap matanya. Dendam? Benci? Penyesalan? Semua hal buruk dari kotak pandora terpancar dari matanya yang tertutupi kacamata. Aku hanya bisa mendukung dokter dan memegang pundaknya yang tinggi.

“... Waktunya operasi...”

Dengan keji, ia membelah kepala 13 orang ini satu per satu dengan gergaji operasi dan pisau bedah. Bau yang mencekam tak bisa tertutupi oleh masker. Darah segar membasahi pakaian kami dan ruang “operasi” ini. Cepat namun berhati-hati, “hantu” kejam ini berhasil “menampakkan” otak ke 13 orang ini dari tempurung kepala mereka. Dan dengan sebilah pisau bedah, ia menusukkannya ke otak tiap orang berkali kali hingga hancur, menjadi potongan daging.

Keesokan harinya, mayat-mayat dan “kamar penjagalan” ini disaksikan oleh seluruh penghuni rumah sakit ini. Kondisi ruangan yang penuh warna merah membuat orang-orang ketakutan dan percaya hanya “hantu” atau “iblis” yang mampu melakukan hal tersebut.

Tak ada penyesalan dan kecewa di dalam hatiku. Semua untuk pasien. Semua kulakukan demi dokter. Namun, hal yang kutakutkan terjadi. Dokter Isnanto menghampiri rumahku dan mengatakan “..Pukul 10 malam, waktunya beroperasi..”


Aku hanya menganggukkan kepala dan menghargai “kesempatan” ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar